Social Networking
Cari
Manajemen Rumah Sakit
SUSAHNYA PRAKTIK DOKTER UMUM |
![]() |
![]() |
![]() |
Written by dr.Sholihul Absor,MARS |
Wednesday, 30 September 2015 13:56 |
SUSAHNYA PRAKTIK DOKTER UMUM
Praktik dokter umum sekarang ini saya rasakan tambah susah, bukan soal jumlahnya pasien karena pasien saya masih banyak meskipun jamannya BPJS , tapi karena semakin berubahnya perilaku pasien. Kalau dulu pasien itu cenderung pasrah, percaya, terbuka, patuh, dan lain lain yang positif, sekarang sebaliknya. Akibatnya proses menegakkan diagnosa menjadi lebih sulit, mau kasih rujukan pemeriksaan laboratorium mikir seribu kali, mau kasih terapi ragu ragu, termasuk mau narik biaya konsultasi mahal hati ngak tega. Ini beberapa pengalaman praktik saya. Pertama dan yang paling sering terjadi, pasien tidak jujur. Ditanya sejak kapan sakitnya jawabnya kemarin padahal sudah lama. Ditanya sudah minum obat apa katanya belum minum obat apa apa, padahal sudah minum obat dari dokter lain. Pasien kunjungan ulang dia bilang “dok koq sakitnya tetap saja belum sembuh?” padahal sudah sembuh tapi relaps atau kumat. Ini yang paling sering, pasien diabet kontrol ulang dan hasil gula darahnya tinggi kemudian bilang ”koq masih tinggi dok padahal saya sudah tarak (pantang makan)?”...tau ngak...habis itu anaknya yang mengantar bilang “bohong dok, semua jajanan dimakan” nah lho. Tentu saja semua ini menyulitkan dalam menegakkan diagnosa dan langkah pengobatan selanjutnya. Kedua, pasien keberatan dengan saran medis. Diminta tes darah pasien menolak, tapi besoknya kembali dengan membawa hasil tes darah yang tidak sesuai dengan harapan saya. Disarankan rontgen (foto) paru paru tidak mau, periksa rekaman jantung keberatan dengan alasan tidak punya uang tapi ternyata bisa ke spesialis dan habis biaya banyak, setelah penyakitnya tidak kunjung sembuh (kalau diabet dan hipertensi memang ngak bisa sembuh kan) akhirnya balik lagi dan tanya macam macam dan njelimet....nah lho...bayar mahal tidak mau nanya katanya takut, giliran bayar murah (cuman 20 rebu atau 1 USD lebih sedikit, murah banget kan...apalagi dibandingkan dengan standard honor dokter luar negri...wkwkwkwk) tanyanya lama banget. Susah kan jadi dokter umum jaman sekarang?.
Ke tiga, ini lebih parah, tidak menghargai profesi dokter. Beberapa kali saya dipanggil pasien datang ke rumahnya katanya sakit parah dan tidak bisa datang ke praktikan. Tapi setelah melihat pasiennya ternyata mestinya bisa datang ke tempat praktik, cuman karena keluarganya tidak mau repot jadi memanggil dokter saja biar praktis. Terus terang hati ini dongkol sebenarnya, sudah dibela belain nunda pulang ke rumah dan badan sudah capek, dibonceng pakai sepeda motor menyusuri lorong kampung, rasanya tidak dihargai niat menolong saya ini. Mungkin mereka pikir kan dibayar. Bukan soal dibayarnya (karena cuman 50 rebu untuk jasa panggilannya, terlalu murah kan?) tapi mbok ya saling menghargai lah. Saya sudah terbiasa apabila dipanggil kemudian pasiennya ternyata harus dirujuk atau sudah meninggal, tidak mau terima uang jasa panggilannya, yang begini justru saya merasa ada artinya menjadi dokter. Ada niat ditarik mahal saja biar kapok, tapi tidak tega karena lihat kondisi rumahnya yang kelihatan bukan dari keluarga sejahtera, lagi pula menyalahi sumpah dokter yaitu tidak boleh berorientasi uang kalau ngobati pasien. Akhirnya cuman sabar aja agar dapat imbalan pahala (doakan ya pembaca....hehehe). Dan yang ini kejadian lucu, jengkel, dan kaget campur jadi satu. Sekitar dua minggu lalu seperti biasa saya melayani seorang pasien. Perempuan muda (20 tahunan) mengeluh pusing dan perut sebah sudah seminggu. Singkat kata saya periksa didapati perut bawah yang sedikit membesar dan keras. Langsung saya tanya “hamil ya mbak?” dia bilang tidak, dua bulan lalu bulanan sedikit katanya. “Maaf tapi sudah menikah ya?” dia jawab sudah januari lalu. Bingung juga menduga diagnosa pasien ini, akhirnya daripada ragu ragu saya lakukan USG. Tampak bayangan bulat tegas sepertinya tumor jenis kista tapi bisa juga kepala bayi. Saya susuri gambaran lainnya ternyata ada bayangan yang bergerak gerak dan pasti itu detak jantung bayi. Dengan yakin saya sampaikan jika pasien ini sedang hamil, kira kira sudah lima bulan lebih dan saya sarankan konsul ke dokter kandungan. Heran juga ada pasien yang hamil lima bulan lebih tapi tidak tahu. Selepas praktik ditanya oleh asisten tentang pasien ini kenapa koq meriksanya lama, ya saya bilang karena dilakukan USG dan hasilnya ternyata hamil lima bulan lebih. Asisten saya dengan nada kaget “haahhh.... kemarin ibunya waktu berobat ke sini, cerita kalo dia (pasien ini) habis menikah sebulan yang lalu”. Duaarrrr.....kena tipulah saya..... Yah...tentu saja tidak semua pasien perilakunya seperti cerita di atas, masih banyak yang baik baik dan menghargai profesi dokter. Cerita di atas hanyalah sekedar menunjukkan bahwa telah terjadi banyak pergeseran perilaku pasien yang harus dicermati oleh para pelayan kesehatan sekarang. Perubahan perilaku konsumen (dalam konteks ini adalah pasien) harus disikapi dengan perubahan layanan yang sesuai meskipun itu semakin sulit, agar kita tidak ditinggal oleh pasar. Dan juga, ini yang paling penting....semangat mengabdi seorang dokter harus semakin tebal agar tidak terseret dalam ruang lingkup transaksional. Uang yang dibayarkan ke dokter tidak sebanding dengan nilai pengabdiannya.
Twitter: @dokter_absor |
Last Updated on Wednesday, 30 September 2015 14:35 |